Ternate (Awalan.id) – Setiap 12 Rabiul Awal, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, ragam tradisi lahir untuk merayakan hari besar tersebut. Salah satunya adalah tradisi Cokaiba yang berasal dari daerah Patani, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.
Cokaiba, yang berarti topeng setan, merupakan ritual khas masyarakat Negeri Fogogoru—sebutan untuk wilayah Weda, Patani, dan Maba. Tradisi ini telah dikenal sejak masa para raja atau Rajaman, sekitar tahun 1100 Masehi, ketika Islam mulai masuk ke kawasan tersebut.
Jejak Sejarah dan Filosofi
Pada masa awal, masyarakat Fogogoru hidup berdampingan dengan bangsa jin dan terbiasa berinteraksi dengan mereka. Setelah Islam datang, kebiasaan itu mulai dibatasi, namun kerinduan masyarakat terhadap interaksi tersebut tetap ada. Sebagai wujudnya, dibuatlah topeng menyerupai sosok jin yang kemudian disebut mef. Setelah Fogogoru bergabung dengan Kesultanan Tidore, istilah ini berganti menjadi Cokaiba.

Budayawan Ayub Sid dalam tulisannya “Setan Pun Ikut Bergembira” menyebut Cokaiba sebagai simbol kedamaian dan kegembiraan menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini diyakini bukan hanya dirayakan oleh manusia, tetapi juga oleh seluruh alam.
Unsur-unsur Cokaiba
Dalam pelaksanaannya, Cokaiba terbagi dalam empat jenis yang merepresentasikan elemen alam dan jumlah Asmaul Husna:
Cokaiba Yai (kayu): melambangkan api, terdiri dari 7 orang.
Cokaiba Gof (bambu): melambangkan udara, terdiri dari 4 pasangan.
Cokaiba Iripala (pelepah sagu): melambangkan air, terdiri dari 44 pasangan.
Cokaiba Nok (tanah): melambangkan bumi, terdiri dari 44 orang.
Jika digabung, jumlah keseluruhan mencapai 99, yang merepresentasikan Asmaul Husna, 99 nama indah Allah SWT. Keempat elemen—api, udara, air, dan tanah—juga melambangkan proses penciptaan manusia dari alam semesta.

Ritual Perayaan
Menurut buku “Jejak Maluku Utara Untuk Indonesia”, tradisi Cokaiba biasanya digelar pada malam 12 Rabiul Awal selepas salat Isya hingga pagi hari. Suasana semarak terasa dengan tabuhan rebana, lantunan dzikir, serta pembacaan riwayat Nabi. Para peserta mengenakan topeng menakutkan, lengkap dengan jubah atau kebaya.
Saat matahari terbit, tokoh adat memilih salah satu Cokaiba Yai untuk dipukul tiga kali. Tindakan simbolis ini menandai dimulainya masa tiga hari di mana para pengguna topeng Cokaiba akan dipukul hingga matahari terbenam, sebuah tradisi unik yang terus dilestarikan turun-temurun.
Warisan Budaya Islami
Lebih dari sekadar pertunjukan, Cokaiba adalah warisan budaya yang menyatukan unsur sejarah, spiritualitas, dan kearifan lokal. Tradisi ini menjadi wujud kecintaan masyarakat Fogogoru kepada Nabi Muhammad SAW sekaligus menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. [Red]






