Mojokerto (Awalan.id) — Di tengah arus modernisasi dan gejolak ekonomi, Desa Batangkrajan di Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto masih menyimpan denyut tradisi lama: kerajinan perak. Meski pamornya tak sekuat era 1990-an, para pengrajin setempat tetap setia menekuni profesi yang diwariskan secara turun-temurun.
Suwanta, salah satu pengrajin senior, mengenang masa keemasan industri perak Batangkrajan. “Tahun 1990-an, hampir semua warga sini jadi pengrajin. Orang lebih memilih kerajinan perak daripada kerja di pabrik,” ungkapnya, Minggu (6/7/2025).
Namun, hantaman krisis moneter 1998 menjadi titik balik yang memukul industri ini. Orderan menurun drastis, pasar menyusut, dan generasi muda tak lagi tertarik untuk melanjutkan usaha warisan keluarga. Saat ini, hanya tersisa sekitar 20 pengrajin aktif di desa tersebut.
Kondisi serupa juga dirasakan di Bali—pasar utama kerajinan perak Mojokerto. Bahkan, di sana para pelaku usaha mulai membuka pelatihan dan menggaji tenaga baru demi menyelamatkan keberlangsungan usaha.
Sekarang sepi, tapi kalau sudah bisa teknik dasarnya, bisa juga pindah ke bahan lain seperti swasa. Lebih murah, tapi masih bisa jalan,” tambah Suwanta.
Suryanto (53), pengrajin yang telah berkarya selama lebih dari 20 tahun, tetap memproduksi perhiasan perak secara mandiri dengan label Nela Silver. Mulai dari anting, cincin, hingga liontin, semua ia kerjakan sendiri dengan peralatan manual. Dalam sebulan, ia bisa menyelesaikan hingga 300 item.
Paling laku anting-anting. Harga tergantung pasar, sekarang sekitar Rp30 ribu per gram,” jelasnya. Bahan baku ia datangkan dari Bali dan penjualannya dilakukan secara langsung dari rumah maupun pesanan.
Di tengah keterbatasan, para pengrajin Batangkrajan tetap menjaga nyala tradisi yang mulai meredup. Mereka berharap ada perhatian lebih dari pemerintah maupun generasi muda agar kerajinan khas Mojokerto ini tak sekadar jadi kenangan.[Mis]